Pemuda Harus Independen dan Pede

 

Dalam kapasitas saya sebagai Sekjen KNPI Periode 2002-2005, wartawan Harian Suara Karya Kardeni mewawancarai saya tentang masalah kepemudaan dan kondisi Aceh pasca Perjanjian Helsinki. Wawancara itu terbit pada 25 November 2005 dengan judul Pemuda Harus Independen dan Pede. Berikut liputan dan wawancara lengkapnya:

Salah satu nama yang ramai disebut-sebut dalam bursa calon Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) adalah M Fakhruddin. Sekjen DPP KNPI itu memang serius akan maju sebagai salah satu calon Ketua Umum DPP KNPI dalam kongres yang akan diselenggarakan, media Desember mendatang.

Berikut ini petikan percakapan Suara Karya dengan Fakhruddin yang mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) tersebut. Putra Aceh ini sangat peduli dengan perkembangan yang terjadi di tanah kelahirannya. Dalam pandangannya, kaum muda atau pemuda harus ambil bagian nyata dalam upaya-upaya menangani problem atau ancaman disintegrasi bangsa.

Apa komentar anda tentang perkembangan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sekarang ini, pascakesepakatan Helsinki?

Positif karena terjadi kemajuan-kemajuan. Kerinduan akan suasana damai menjadi harapan seluruh masyarakat Aceh. Kita semua, terutama kaum muda sudah seharusnya terus mendorong dan berperan nyata dalam upaya-upaya menegakkan perdamaian ini. Tidak hanya di NAD, tetapi di berbagai tempat dari Sabang sampai Merauke.

Saya melihat ada semacam intervensi Ilahiyah yang menyentuh sisi-sisi kemanusiaan yang paling dalam diri mereka yang terlibat dalam perundingan di Helsinki. Mereka menyadari bahwa perang bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah Aceh. Kita bersyukur bahwa bencana tsunami lebih memantapkan mereka memilih duduk di meja perundingan dan menyelesaikan Aceh secara lebih humanis dan bermartabat.

Namun, tidak sedikit tokoh yang melihat perjanjian Helsinki menguntungkan GAM?

Tidak ada masalah sepanjang perjanjian masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UUD 1945. Pendekatan diplomatik selalu membuka ruang bagi proses tawar-menawar, supaya tidak ada pihak yang kehilangan muka. Yang penting adalah sikap saling percaya sudah mulai tumbuh. Saya melihat, sejumlah butir dalam kesepakatan itu masih bisa diperlonggar. Saya optimis, apapun dapat diselesaikan apabila komunikasi batin sudah mulai terbangun.

Soal “konsesi” ekonomi yang diperoleh oleh para mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saya kira mesti kita lihat dari kaca mata orang Aceh. Semua orang tahu bahwa cukup besar peran dan sumbangan orang Aceh terhadap eksistensi republik ini, khususnya di awal-awal berdirinya. Namun harus diakui bahwa situasi dan kondisi Aceh sebagai daerah yang senantiasa diwarnai pergolakan dan perlawanan dalam waktu yang panjang — sejak era penjajahan Belanda sampai republik — menjadikannya relatif jauh tertinggal dibanding daerah lainnya. Sehingga, layak apabila sekarang ini dilakukan percepatan pembangunan di sana, sebagai reward atas ketulusan mereka dalam mempertahan bumi dan Tanah Air kita. Inilah yang selama ini agak terabaikan.

Berangkat dari prolog di atas rasanya agak berlebihan kalau kita memersoalkan pemberian lahan yang hanya 2 hektar. Para elite kita yang tidak setuju dengan konsesi ini, jangan membayangkan harga tanah di Aceh sama seperti harga tanah yang di Menteng. Di sana masih ada tanah yang harganya 500 ribu per hektare.

Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Adanya sikap kritis dan perbedaan pendapat tentu biasa bagi kita yang menjunjung nilai-nilai demokrasi. Jadi, tugas besar kemanusiaan kita ke depan adalah harus terlibat dan mendorong semua pihak untuk gentleman dan commited terhadap seluruh isi perjanjian.

Kabarnya anda akan maju menjadi calon Ketua Umum DPP KNPI dalam kongres mendatang. Selama ini yang terpilih selalu kader Golkar. Apakah anda punya network untuk menembus elite politik Partai Golkar?

Sebagai calon pemimpin tentu saya harus membangun komunikasi dengan seluruh kekuatan politik yang ada. Khusus dengan Golkar, saya secara pribadi punya hubungan yang panjang dan spesial. Saat saya memimpin HMI, di awal reformasi, Golkar selalu menjadi sasaran hujatan, cacian, dan makian. Terus terang saya selalu tampil membela Golkar dalam setiap kesempatan. Atas sikap itu, di internal HMI saya menerima banyak kritikan, bahkan sebagian ada yang menduga saya sebagai anggota Golkar dan punya NPAG.

Saya melihat Golkar adalah aset bangsa dengan kualitas sumber daya manusia yang baik. Apa yang dimiliki Golkar adalah akumulasi dari kerja panjang selama 30 tahun lebih. Mengapa harus dihancurkan. Apalagi kita belum punya institusi politik alternatif karena kekuatan reformasi tidak tekonsolidasi dengan baik pada waktu itu.

Jadi, yang penting adalah menyiapkan sistim ketatanegaraan baru. Kita mesti jujur mengatakan, agenda reformasi dan tuntutan rakyat banyak diserap semasa pemerintahan BJ Habibie yang di-back-up oleh Golkar sebagai kekuatan politik mayoritas di parlemen ketika itu.

Karena itu, banyak orang kaget ketika saya menentukan PPP sebagai tempat berkiprah. Saya kira sangat penting para mantan aktivis menyebar di berbagai kekuatan politik untuk mendorong reformasi dan penguatan di seluruh partai. Saya memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saya meyakini bahwa PPP adalah partai Islam yang moderat dan fleksibel dalam memaknai Islam sebagai Idiologi. Jadi kesamaan cita-cita dan persepsi politik inilah yang menjadi modal dasar saya dalam menjalin hubungan emosional dengan kawan-kawan dan elite di Golkar. Terakhir, anda perlu juga tahu bahwa orang tua saya — H Muhdi Suib Majid — pernah menjabat sebagai ketua Golkar di Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Selatan, dua periode lagi. He… he…he…

Anda setuju soal patron-patronan?

Anak muda harus menunjukkan karakternya yang independen, kritis, dan percaya diri (pede) tanpa harus kehilangan santun dan hormat terhadap siapa pun. Kita wajib melakukan komunikasi dan silaturrahmi. Saya jadi ingat pernyataan Ali Bin Abi Thalib, “Bukanlah pemuda kalau dia hanya bisa berkata ini bapak saya. Tapi pemuda adalah orang yang sanggup berkata inilah saya.” Yakinilah, patron utama kita adalah Allah. Dia akan titipkan kekuasaan kepada siapa pun yang dikehendaki, tugas kita hanya ikhtiar kemudian bertawakkal. (Kardeni)

*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wawancara dengan Tabloid Gatara